Air.... kenapa musti air... kenapa bukan api.. tanah...udara...
Setiap manusia karena...
Arti Hakikat
Secara etimologis berarti terang, yakin, dan sebenarnya. Dalam
filsafat, hakikat diartikan inti dari sesuatu, yang meskipun
sifat-sifat yang melekat padanya dapat berubah-ubah, namun inti
tersebut tetap lestari. Contoh, dalam Filsafat Yunani terdapat nama
Thales, yang memiliki pokok pikiran bahwa hakikat segala sesuatu adalah
air. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan inti segalanya. Semua
hal meskipun mempunyai sifat dan bentuk yang beraneka ragam, namun
intinya adalah satu yaitu air. Segala sesuatu berasal dari air dan akan
kembali pada air.
Karena hakikat sesuatu itu senantiasa ada, maka kalangan filsuf Islam
ada yang memandang bahwa alam ini adalah kekal. Yang berubah pada alam
ini hanya bentuk dan sifatnya, sedangkan intinya adalah bersifat
lestari. Hakikat yang universal seperti ini disebut oleh al-Khindi
dengan Haqiqah Kulliyah atau bisa disebut juga nahiyah.
Di samping hakikat yang universal tersebut ada lagi hakikat yang
terdapat pada masing-masing benda atau pada sesuatu yang ada. Hakikat
ini dapat dinamakan dengan Haqiqah Juz’iyah atau biasa juga disebut
aniyah.
Bagi Ibnu Sina, dua hakikat yang disebut di atas hanya ada pada benak
manusia, sedangkan yang tampak pada kenyataan adalah wujud hakikat
tersebut. Jadi yang paling berperanan bagi Ibnu Sina pada sesuatu
adalah wujudnya.
Istilah hakikat juga dipergunakan di kalangan tasawuf sebagai imbangan
kata syariat. Kata hakikat disini identik dengan aspek kerohanian dari
ajaran Islam. Karena itu kajian tentang hakikat dimulai dengan aspek
moral yang dibarengi dengan aspek ibadah. Jika kedua aspek ini
diamalkan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, akan meningkatlah
kondisi mental seseorang dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih
tinggi melewati fase-fase. Suatu saat, ketika kondisi mentalnya telah
sampai pada tingkat tertinggi, Tuhan akan menerangi hati sanubari orang
tersebut dengan nur-Nya, sehingga pada wakti itu ia betul-betul dengan
dengan Tuhan, dapat mengenal Tuhan, dan dapat melihatNya dengan mata
hatinya. Orang yang telah sampai pada tingkat ini di kalangan tasawuf
dinamakan ahli hakikat.
Lebih jauh bila hakikat dipergunakan untuk Tuhan, maka artinya menurut
kajian tasawuf ialah sifat-sifat Allah SWT. Adapun zat Allah SWT
sendiri disebut dengan al-Haqq. Kajian tentang hakikat dan al-Haqq ini
pertama kali dikembangkan oleh al-Hallaj, kemudian dikembangkan oleh
Ibnu Arabi.
Bagi al-Hallaj, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak sehingga
masing-masing mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Tetapi antara dua
hakikat itu terdapat kesamaan. Dengan demikian bila kesamaan itu telah
semakin mendekat, maka kaburlah garis pemisah antara keduanya. Ketika
itu terjadilah persatuan ( hulul ) antara al-Haqq dan manusia.
Sedangkan bagi Ibnu Arabi, segala sesuatu yang ada berasal dari Tuhan.
Oleh karena itu ia bergabung dalam wujud Tuhan. Kalau seandainya wujud
Tuhan tidak ada, maka segala yang ada ( mawjud ) ini tidak pula akan
ada. Karena itu ia menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang ada ini
sebenarnya tidak mempunyai wujud sendiri. Wujud Tuhan adalah hakikat
dari semua wujud yang ada ini.
Kata hakikat juga digunakan dalam ilmu balagah, sebagai lawan dari
majaz ( metafora ). Yang dimaksud hakikat dalam ilmu balagah ialah
lafal atau ungkapan yang dipergunakan sesuai dengan penegertian
aslinya. Misalnya kata “tangan” biasanya dipakai untuk tangan sebagai
salah satu anggota tubuh manusia, tetapi dapat pula diartikan dengan
arti kekuasaan, seperti raja itu bertangan besi.